“Batu-Batu” sebuah kota kecil yang berbau Kota Metropolis dan merupakan kampong halaman para leluluhur raja-raja Soppeng yang berada di daerah tepian Danau Tempe, Batu-Batu dalam priode sejarah dikenal dengan berbagai nama diantaranya Marioriawa Attangsalo, Tanete Marioriawa dan Terakhir adalah “Batu-Batu”
Pada tahun 1556-1560 daerah ini bernama Marioattangsalo merujuk kepada nama istri Datu Sultadde BolongngE (La’de MabolongngE) Raja Soppeng X memperistrikan We Temmabu-leng MalotongngE Datu (Ratu) Marioriawa Attang Salo, suatu kenyataan bahwa Maroriawa dalam periode sejarah raja pertamanya dipimpin oleh seorang Ratu atau raja Perempuan.
Perubahan nama Tanete Marioriawa tercantum sejarah menyebaran Islam di Ajang Tappareng oleh Kerjaan Gowa dimana dilukiskan bahwa ” Dua bulan setelah penyerangan itu, pasukan Gowa beserta segenap sekutunya menyerbu pusat pertahanan pasukan Soppeng di Tanete Mario riawa. Kali ini, Pasukan Soppeng tidak mendapat bantuan dari Pasukan Wajo dan Bone karena mereka sibuk mengatur basis pertahanannya masing-masing. Kekuatan Pasukan TellumpoccoE kini telah pecah. Maka dalam waktu kurang lebih 1 bulan, negeri-negeri bawahan Soppeng satu demi satu ditaklukkan. Akhirnya melalui pertempuran habis-habisan yang menelan banyak korban jiwa pada kedua belah pihak, Negeri Soppeng terpaksa harus menyatakan kalah perang pada Gowa dan sekutunya. Datu Soppeng BEoE menerima agama Islam dan mengucapkan kalimah syahadat pada tanggal 15 Syawal 1019 Hijriah (1609 M).
Nama “Batu-Batu” muncul dalam dalam sebuah cerita rakyat, yang menceritakan sebuah kejadian masa lalu bahwa pada waktu jaman dahulu Tanete Marioriawa (Tanete Alau Salo sibawa Tanete Orai’ Salo) bertempur melawan Sidengreng yang berada di Massepe, mereka memperebutkan sebuah perbatasan wilayah dimana pihak Tanete Marioriawa mengklaim bahwa batas Marioriawa berada di alur sungai Belokka, sedangkan pihak kerajaan Sidengreng mengklaim bahwa batas Sidengreng berada dialur sungai Lajaroko hingga ke danau Tempe. Hal ini memicu pertempuran hebat, dimana pihak Marioriawa bahu-membahu bersama rakyatnya menghalau pihak Sidengreng dengan menggunakan bebatuan yang ada di sekitarnya. Cappui Batu-BatuE ri Tanete Marioriawa Batu-Batu” napake rumpak-i musuE, sibantu-bantui tau egaE. Dan akhir pertempuran tersebut berjatuhan korban kedua belah pihak dan dikuburkan di berbagai lokasi diantaranya Daearah Pasar Sentral/Lapangan dan sekitarnya, Daerah SD Tanete dan sekitarnya, Daerah SD Tarawang dan sekitarnya, daerah Kampung baru, dua lokasi sebalah selatan ceppa-ceppaE, area pekuburan Lamaloang , Kajaoe dan lain-lain. Karena banyaknya korban berjatuhan maka diadakannya perjanjian bahwa watas antar wilayah kerajaan Marioriawa dn sidengreng adalah sungai kecil di Laringgi oleh orang sidengreng menyebutnya Bapangi Dari cerita tersebut diatas memunculkan Istlah “Batu-Batu” untuk nama area pertempuran tersebut . hingga mendadi sebuah perkampungan setingkat matoa hingga era kemerdekaan berubah menjadi lingkungan dan para erah reformasi Batu-Batu” berubah menjadi kelurahan.
Dalam Tulisan Sylvia Riszki di Kompasiana menceritakan sebagai berikut “ Mungkin baru kali ini kita mendengar daerah mitos yang berada di Sulawesi Selatan tepatnya Kabupaten Soppeng Kecamatan Marioriawa. Daerah yang dijuluki mitos oleh sebagian warga IMSI itu memiliki nama yang unik yaitu Batu-batu. Berawal dari namanya itulah kampung salah satu mahasiswi sastra Indonesia itu dijuluki mitos dengan alasan wilayah itu tidak ada di peta Indonesia dan di sana hanyalah kumpulan bebatuan yang tidak berpenghuni. Kekeliruan itulah yang berujung mitos. Unik dan metropolis. Itulah ungkapan kebanggaanku sebagai masyarakat yang berdomisili di daerah itu tepatnya berada di kelurahan Batu-batu, kecamatan Marioriawa yang memiliki keunikan tersendiri dari daerah-daerah di kota kalong tersebut. Jika kita menginjakkan kaki di daerah itu, maka bangunan-bangunan bertingkat dari rumah warga yang menjadi pusat pertokoan dan usaha-usaha lainnya akan menjadi suguhan pertama di depan mata.
Menurut warga sekitar yang telah lanjut usia, konon Batu-batu merupakan kota perdagangan yang ada di kecamatan Marioriawa. Bahkan sampai sekarang pun Batu-batu masih menjadi pusat pertokoan dan menjadi ibukota dari kecamatan Marioriawa itu sendiri. Batu-batu hanya daerah kecil yang berdampingan dengan beberapa kelurahan-kelurahan lain yang di kecamatan Marioriawa. Namun, warga di sekitar kelurahan lain lebih akrab dengan nama Batu-batu sendiri.
Batu-batu menyimpan keindahan tersendiri. Taman segitiga dengan simbol dua anak cukup dan kerlipan lampu-lampu taman yang begitu indah pada malam hari yang membela jalan raya menjadi pertigaan. Tak hanya itu, sebagai pusat pertokoan, Batu-batu ramai dengan butik, shorum dan toko-toko lainnya bahkan tersedia warung-warung makan yang berjejer sepanjang jalan. Pasar sentral pun beroperasi tiga kali seminggu dengan bangunan yang layak pakai, kios-kios yang ada dalam pasar pun tertata baik. Lain lagi dengan sekolah-sekolah yang ada, kita dapat menemukan TK atau playgroup, SD/MIN, SMP/MTS, dan SMA/MAN/SMK. Salah satu bangunan sekolah dasar yang terkenal dengan keunggulannya adalah SD 47 Lamarung, bangunannya yang bertingkat di samping berbagai kegiatan ekstrakulikuler disuguhkan bagi siswa di sekolah unggulan tersebut. Sekolah menengah pertama pun telah mendapat predikat SSN dan di dalam sekolah tersebut juga terbuka pendaftaran untuk SMP terbuka. Sedangkan sekolah menengah atas yang berada di desa Laringgi yang merupakan perbatasan Soppeng-Sidrap juga merupakan SMA yang bertaraf nasional dengan berbagai kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler yang mendukung dan fasilitas yang memadai.
Kota kecil di daerah itu menyimpan cerita lain. Jika kita ingin berwisata atau liburan bersama, ada baiknya mengunjungi permandian air panas Lejja yang berada 10 km dari Batu-batu. Di sana kita akan merasakan sensasi lain, kita akan disuguhkan dengan beberapa kolam air panas dan hangat yang memiliki khasiat tertentu seperti dapat menyembuhkan gatal-gatal dan sejukknya pemandangan yang dapat membantu relaksasi dari berbagai penat yang membelenggu kita. Dapat pula mencoba tangga seribu yang akan memberi pengalaman tersendiri, bahkan jika kita ingin menyumbangkan lagu tersedia pula tempat karaoke dan tentunya villa yang bisa menjadi penginapan sementara kita selama berwisata di Lejja.
Setelah berwisata di permandian air panas Lejja, tak ada salahnya meluangkan waktu mengunjungi tempat wisata lain yang beredukatif yaitu rumah seratus (bola siratue)yang terletak sekitar 2 km dari Batu-batu tepat berada di depan SPBU. Luasnya tanah yang digarap untuk kepentingan umum itu sangat menarik perhatian para peneliti dari berbagai daerah maupun kota tak ketinggalan para turis. Di rumah seratus itulah kita dapat menemukan berbagai bangunan adat seperti tongkonan, perahu, cafe serta benda-benda pusaka lainnya.
Puas dengan suguhan wisata yang sangat menarik, mungkin rasa penasaran masih terlintas di benak kita tentang mata pencaharian masyarakat di Batu-batu. Yah, selain pedagang, pegawai dan petani, masyarakat di daerah ini juga bermata pencaharian nelayan. Tentu saja masyarakat di sini mayoritas nelayan pula karena terdapat danau yang merupakan sambungan dari danau tempe. Jadi masyarakat yang hendak bepergian ke kota sutra kabupaten Wajo dapat menggunakan jalur laut yang lebih cepat tetapi siap-siap saja seluruh tubuh akan terbakar teriknya mentari. Menariknya lagi, ada dermaga kecil yang berada di pinggiran danau tersebut namanya Salo mate. Tempat itu pula menjadi salah satu tempat nongkrong pemuda di sore hari sembari menerawang luasnya laut, rumah panggung masyarakat dan hamparan tanaman bakau yang memanjakan mata dan hati. Ada yang unik lagi di tempat ini. Ini baru mitos. Menurut kepercayaan masyarakat sekitar danau tersebut, ada suatu waktu akan diadakan maccera’ tappareng hal itu merupakan kebiasaan yang dilakukan itu memberikan tumbal kepada sang penjaga danau. Dalam acara tersebut kita akan melihat kerbau yang ukurannya begitu besar dan sesajen lainnya serta nyanyian-nyanyian doa yang dihaturkan kepada penjaga danau. Nah, jika acara ini berlangsung akan ada seorang wanita paruh baya yang akan kesurupan roh dari penjaga danau dan akan meminum darah dari kepala kerbau tersebut. Tidak masuk akal kan? Tetapi itulah tradisi yang telah turun temurun dilakukan oleh masyarakat nelayan. Itu cerita nelayan, lain lagi masyarakat yang bermata pencaharian petani. Mappadendang adalah tradisi yang dilakukan masyarakat petani yang sedang panen. Jadi, di Batu-batu adat dan tradisi masih kental.
Dari berbagai cerita unik dari daerah Batu-batu dan sekitarnya itu, membuktikan bahwa Batu-batu bukanlah mitos melainkan daerah yang ramai. Masyrakatnya pun mengikuti trend dan pembangunan di mana-mana yang berarti daerah itu dalam tahap metropolisasi. Yah, meskipun bukan metropolis yang sesungguhnya namun entah beberapa tahun ke depan Batu-batu akan dekat dengan nama kota metropolitan paling tidak kota perdagangan.
Pada tahun 1556-1560 daerah ini bernama Marioattangsalo merujuk kepada nama istri Datu Sultadde BolongngE (La’de MabolongngE) Raja Soppeng X memperistrikan We Temmabu-leng MalotongngE Datu (Ratu) Marioriawa Attang Salo, suatu kenyataan bahwa Maroriawa dalam periode sejarah raja pertamanya dipimpin oleh seorang Ratu atau raja Perempuan.
Perubahan nama Tanete Marioriawa tercantum sejarah menyebaran Islam di Ajang Tappareng oleh Kerjaan Gowa dimana dilukiskan bahwa ” Dua bulan setelah penyerangan itu, pasukan Gowa beserta segenap sekutunya menyerbu pusat pertahanan pasukan Soppeng di Tanete Mario riawa. Kali ini, Pasukan Soppeng tidak mendapat bantuan dari Pasukan Wajo dan Bone karena mereka sibuk mengatur basis pertahanannya masing-masing. Kekuatan Pasukan TellumpoccoE kini telah pecah. Maka dalam waktu kurang lebih 1 bulan, negeri-negeri bawahan Soppeng satu demi satu ditaklukkan. Akhirnya melalui pertempuran habis-habisan yang menelan banyak korban jiwa pada kedua belah pihak, Negeri Soppeng terpaksa harus menyatakan kalah perang pada Gowa dan sekutunya. Datu Soppeng BEoE menerima agama Islam dan mengucapkan kalimah syahadat pada tanggal 15 Syawal 1019 Hijriah (1609 M).
Nama “Batu-Batu” muncul dalam dalam sebuah cerita rakyat, yang menceritakan sebuah kejadian masa lalu bahwa pada waktu jaman dahulu Tanete Marioriawa (Tanete Alau Salo sibawa Tanete Orai’ Salo) bertempur melawan Sidengreng yang berada di Massepe, mereka memperebutkan sebuah perbatasan wilayah dimana pihak Tanete Marioriawa mengklaim bahwa batas Marioriawa berada di alur sungai Belokka, sedangkan pihak kerajaan Sidengreng mengklaim bahwa batas Sidengreng berada dialur sungai Lajaroko hingga ke danau Tempe. Hal ini memicu pertempuran hebat, dimana pihak Marioriawa bahu-membahu bersama rakyatnya menghalau pihak Sidengreng dengan menggunakan bebatuan yang ada di sekitarnya. Cappui Batu-BatuE ri Tanete Marioriawa Batu-Batu” napake rumpak-i musuE, sibantu-bantui tau egaE. Dan akhir pertempuran tersebut berjatuhan korban kedua belah pihak dan dikuburkan di berbagai lokasi diantaranya Daearah Pasar Sentral/Lapangan dan sekitarnya, Daerah SD Tanete dan sekitarnya, Daerah SD Tarawang dan sekitarnya, daerah Kampung baru, dua lokasi sebalah selatan ceppa-ceppaE, area pekuburan Lamaloang , Kajaoe dan lain-lain. Karena banyaknya korban berjatuhan maka diadakannya perjanjian bahwa watas antar wilayah kerajaan Marioriawa dn sidengreng adalah sungai kecil di Laringgi oleh orang sidengreng menyebutnya Bapangi Dari cerita tersebut diatas memunculkan Istlah “Batu-Batu” untuk nama area pertempuran tersebut . hingga mendadi sebuah perkampungan setingkat matoa hingga era kemerdekaan berubah menjadi lingkungan dan para erah reformasi Batu-Batu” berubah menjadi kelurahan.
Dalam Tulisan Sylvia Riszki di Kompasiana menceritakan sebagai berikut “ Mungkin baru kali ini kita mendengar daerah mitos yang berada di Sulawesi Selatan tepatnya Kabupaten Soppeng Kecamatan Marioriawa. Daerah yang dijuluki mitos oleh sebagian warga IMSI itu memiliki nama yang unik yaitu Batu-batu. Berawal dari namanya itulah kampung salah satu mahasiswi sastra Indonesia itu dijuluki mitos dengan alasan wilayah itu tidak ada di peta Indonesia dan di sana hanyalah kumpulan bebatuan yang tidak berpenghuni. Kekeliruan itulah yang berujung mitos. Unik dan metropolis. Itulah ungkapan kebanggaanku sebagai masyarakat yang berdomisili di daerah itu tepatnya berada di kelurahan Batu-batu, kecamatan Marioriawa yang memiliki keunikan tersendiri dari daerah-daerah di kota kalong tersebut. Jika kita menginjakkan kaki di daerah itu, maka bangunan-bangunan bertingkat dari rumah warga yang menjadi pusat pertokoan dan usaha-usaha lainnya akan menjadi suguhan pertama di depan mata.
Menurut warga sekitar yang telah lanjut usia, konon Batu-batu merupakan kota perdagangan yang ada di kecamatan Marioriawa. Bahkan sampai sekarang pun Batu-batu masih menjadi pusat pertokoan dan menjadi ibukota dari kecamatan Marioriawa itu sendiri. Batu-batu hanya daerah kecil yang berdampingan dengan beberapa kelurahan-kelurahan lain yang di kecamatan Marioriawa. Namun, warga di sekitar kelurahan lain lebih akrab dengan nama Batu-batu sendiri.
Batu-batu menyimpan keindahan tersendiri. Taman segitiga dengan simbol dua anak cukup dan kerlipan lampu-lampu taman yang begitu indah pada malam hari yang membela jalan raya menjadi pertigaan. Tak hanya itu, sebagai pusat pertokoan, Batu-batu ramai dengan butik, shorum dan toko-toko lainnya bahkan tersedia warung-warung makan yang berjejer sepanjang jalan. Pasar sentral pun beroperasi tiga kali seminggu dengan bangunan yang layak pakai, kios-kios yang ada dalam pasar pun tertata baik. Lain lagi dengan sekolah-sekolah yang ada, kita dapat menemukan TK atau playgroup, SD/MIN, SMP/MTS, dan SMA/MAN/SMK. Salah satu bangunan sekolah dasar yang terkenal dengan keunggulannya adalah SD 47 Lamarung, bangunannya yang bertingkat di samping berbagai kegiatan ekstrakulikuler disuguhkan bagi siswa di sekolah unggulan tersebut. Sekolah menengah pertama pun telah mendapat predikat SSN dan di dalam sekolah tersebut juga terbuka pendaftaran untuk SMP terbuka. Sedangkan sekolah menengah atas yang berada di desa Laringgi yang merupakan perbatasan Soppeng-Sidrap juga merupakan SMA yang bertaraf nasional dengan berbagai kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler yang mendukung dan fasilitas yang memadai.
Kota kecil di daerah itu menyimpan cerita lain. Jika kita ingin berwisata atau liburan bersama, ada baiknya mengunjungi permandian air panas Lejja yang berada 10 km dari Batu-batu. Di sana kita akan merasakan sensasi lain, kita akan disuguhkan dengan beberapa kolam air panas dan hangat yang memiliki khasiat tertentu seperti dapat menyembuhkan gatal-gatal dan sejukknya pemandangan yang dapat membantu relaksasi dari berbagai penat yang membelenggu kita. Dapat pula mencoba tangga seribu yang akan memberi pengalaman tersendiri, bahkan jika kita ingin menyumbangkan lagu tersedia pula tempat karaoke dan tentunya villa yang bisa menjadi penginapan sementara kita selama berwisata di Lejja.
Setelah berwisata di permandian air panas Lejja, tak ada salahnya meluangkan waktu mengunjungi tempat wisata lain yang beredukatif yaitu rumah seratus (bola siratue)yang terletak sekitar 2 km dari Batu-batu tepat berada di depan SPBU. Luasnya tanah yang digarap untuk kepentingan umum itu sangat menarik perhatian para peneliti dari berbagai daerah maupun kota tak ketinggalan para turis. Di rumah seratus itulah kita dapat menemukan berbagai bangunan adat seperti tongkonan, perahu, cafe serta benda-benda pusaka lainnya.
Puas dengan suguhan wisata yang sangat menarik, mungkin rasa penasaran masih terlintas di benak kita tentang mata pencaharian masyarakat di Batu-batu. Yah, selain pedagang, pegawai dan petani, masyarakat di daerah ini juga bermata pencaharian nelayan. Tentu saja masyarakat di sini mayoritas nelayan pula karena terdapat danau yang merupakan sambungan dari danau tempe. Jadi masyarakat yang hendak bepergian ke kota sutra kabupaten Wajo dapat menggunakan jalur laut yang lebih cepat tetapi siap-siap saja seluruh tubuh akan terbakar teriknya mentari. Menariknya lagi, ada dermaga kecil yang berada di pinggiran danau tersebut namanya Salo mate. Tempat itu pula menjadi salah satu tempat nongkrong pemuda di sore hari sembari menerawang luasnya laut, rumah panggung masyarakat dan hamparan tanaman bakau yang memanjakan mata dan hati. Ada yang unik lagi di tempat ini. Ini baru mitos. Menurut kepercayaan masyarakat sekitar danau tersebut, ada suatu waktu akan diadakan maccera’ tappareng hal itu merupakan kebiasaan yang dilakukan itu memberikan tumbal kepada sang penjaga danau. Dalam acara tersebut kita akan melihat kerbau yang ukurannya begitu besar dan sesajen lainnya serta nyanyian-nyanyian doa yang dihaturkan kepada penjaga danau. Nah, jika acara ini berlangsung akan ada seorang wanita paruh baya yang akan kesurupan roh dari penjaga danau dan akan meminum darah dari kepala kerbau tersebut. Tidak masuk akal kan? Tetapi itulah tradisi yang telah turun temurun dilakukan oleh masyarakat nelayan. Itu cerita nelayan, lain lagi masyarakat yang bermata pencaharian petani. Mappadendang adalah tradisi yang dilakukan masyarakat petani yang sedang panen. Jadi, di Batu-batu adat dan tradisi masih kental.
Dari berbagai cerita unik dari daerah Batu-batu dan sekitarnya itu, membuktikan bahwa Batu-batu bukanlah mitos melainkan daerah yang ramai. Masyrakatnya pun mengikuti trend dan pembangunan di mana-mana yang berarti daerah itu dalam tahap metropolisasi. Yah, meskipun bukan metropolis yang sesungguhnya namun entah beberapa tahun ke depan Batu-batu akan dekat dengan nama kota metropolitan paling tidak kota perdagangan.